Jumat, 04 Maret 2011

Bahasa Indonesia Antara Gengsi dan Nasionalisme

Oleh : Hendri R.H

Disadari atau tidak, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang memainkan peran yang sangat penting dalam mengikat persatuan dan kesatuan. Dalam sumpah pemuda tahun 1928, dijelaskan bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan dan dijadikan sebagai satu bahasa kesatuan, Itu berarti bahwa bangsa kita terdahulu sudah mengerti akan adanya perencanaan bahasa (language planning). Hal tersebut kemudian dikokohkan dengan adanya undang-undang yang mengaturnya. Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV, pasal 36 menyatakan bahwa “Bahasa negara ialah bahasa Indonesia”.

Dalam tataran ilmu sosiolinguistik, keadaan kebahasaan di Indonesia kini, pertama ditandai dengan adanya sebuah bahasa nasional yang sekaligus juga menjadi bahasa negara, yaitu bahasa Indonesia. Kedua, adanya ratusan bahasa daerah yang ada di seluruh nusantara, dan ketiga, adanya sejumlah bahasa asing yang digunakan atau diajarkan di dalam pendidikan formal. Ketiga bahasa ini secara sendiri-sendiri mempunyai masalah, dan secara bersama-sama juga menimbulkan masalah yang cukup kompleks, dan perlu diselesaikan.

Tidak mempunyai nilai jual
Ada masalah yang cukup mendasar dalam perkembangan bahasa Indonesia dalam era globalisasi budaya sekarang. Melihat fakta di lapangan, bahwa bahasa Indonesia tidak mempunyai nilai jual, sehingga cenderung masyarakat menomorduakannya. Dari mulai aspek

komersialisme sampai aspek administrasi negara misalnya. Kita cenderung menganggap bahwa penggunaan bahasa asing lebih mempunyai nilai loyalitas dibandingkan dengan menggunakan bahasa Indonesia.

Dari segi perniagaan, penggunaan bahasa asing sungguh mengkhawatirkan. Lihat saja di toko-toko atau tempat keramaian lain, intensitas penggunaan bahasa asing meningkat. Tentunya bukan hanya dari segi perniagaan saja yang mengindikasikan bahasa Indonesia terpinggirkan, dalam aspek penerapan misalnya, bahasa Indonesia cenderung digunakan hanya sebatas untuk urusan komunikasi belaka. Padahal jika kita sedikit berani untuk menaikan gengsi bahasa Indonesia, tentunya lain lagi ceritanya. Misalnya dengan menggunakan Tes Kemampuan Bahasa Indonesia.

Bila dibandingkan dengan bahasa Inggris yang sudah mempunyai rasa “gengsinya”, dengan mengeluarkan Test of English as Foreign Language (TOEFL) sebagai pengukur kemampuan penggunanya. Kenapa bahasa Indonesia tidak mempunyai hal tersebut? Orang akan bangga jika mempunyai nilai TOEFL yang bagus, tapi belum tentu nilai Tes Kemampuan Bahasa Indonesia bagus.

Orang yang akan melamar kerja, melanjutkan pendidikan, dsb. Biasanya akan diminta nilai TOEFL sebagai sarat untuk memenuhi administrasinya. Padahal jika bahasa Indoensia diterapkan demikian, kiranya orang-orang akan sadar akan pentingnya bahasa Indonesia sendiri, lebih jauh lagi akan mempunyai nilai jual yang tinggi dan bersaing dengan bahasa asing. Mungkin perlu ada sosialisasi akan perlunya tes kemampuan bahasa Indonesia, peran Lembaga Pusat Pembinaan dan Pengembanganb Bahasa (LP3B) juga diperlukan.


Masalah gengsi
Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi, seharusnya digunakan dalam berbagai aspek kehidupan baik itu kehidupan formal maupun nonformal. Dalam aspek pengajaran semestinya bahasa Indonesia dijadikan sebagai bahasa pengantar pengajaran, dan penerapan tersebut harus terus dilakukan untuk memupuk rasa nasionalisme.

Rasa gengsi berbahasa sepertinya sudah mengakar, orang akan merasa lebih pintar bila menggunakan bahasa asing terutama bahasa Inggris. Mereka mengganggap bahasa asing lebih tinggi derajatnya daripada bahasa Indonesia. Orang Indonesia merasa malu bila tidak menguasai bahasa asing, padahal belum tentu mereka mahir menggunakan bahasa Indonesia. Selain itu, orang akan merasa lebih pandai bila menggunakan bahasa asing dibandingkan menggunakan bahasa Indonesia.

Pada kondisi seperti inilah bahasa Indonesia harus mempertahankan jati dirinya, lebih-lebih krisis kosakata bahasa Indonesia juga mulai muncul kepermukaan. Banyak orang Indonesia lebih suka menggunakan kata-kata, istilah-istilah, dan ungkapan-ungkapan asing. Padahal kata-kata, istilah-istilah, dan ungkapan-ungkapan itu sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia, bahkan sudah umum dipakai dalam bahasa Indonesia. Misalnya, download, copy, paste, print, klik masing-masing untuk “unduh”, “salin”, “cetak”, dan “tekan”.

Kenapa orang Indonesia justru lebih senang menggunakan istilah-istilah asing? Mungkin mereka beranggapan bahwa bahasa yang maju adalah bahasa yang banyak menggunakan istilah asing, mungkin juga tujuannya untuk mengimbangi bahasa Indonesia agar sesuai dengan jaman. Padahal justru hal tersebut menjadikan bahasa Indonesia tidak mempunyai jati diri. Kalau dalam bahasa Indonesia sudah ada istilah-istilah tersebut, mungkin ada baiknya kita menggunakannya.

Tanggung jawab maju atau mundurnya bahasa Indonesia, tentunya akan kembali lagi kepada pengguna bahasa itu sendiri. Kesadaran demikian harusnya dipupuk sejak awal. Kita jangan hanya mengedepankan aspek gengsi berbahasa, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar tentunya akan memupuk rasa nasionalisme atau kecintaan terhadap tanah air. Usaha-usaha tersebut memang harus digalangkan untuk mempertahankan bahasa Indonesia dari gempuran budaya-budaya asing, apalagi ditengah globalisasi budaya dunia.

Pada kondisi seperti inilah kita harus memilih antara rasa gengsi menggunakan bahasa asing atau lebih mementingkan rasa nasionalisme.

BAHASA YANG MELEGITIMASI

Munawir Aziz
Pikiran Rakyat Minggu, 03 Mei 2009

Momentum pilpres 8 Juli 2009 ini, akan semakin ramai dengan perang jargon, kompetisi simbol, dan kontestasi legitimasi diri antarsetiap pasangan. Setelah melewati detik-detik saling menutup diri, saling mengintip strategi, akhirnya ketiga pasangan capres-cawapres hadir merebut simpati pemilih. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berpasangan dengan Boediono (SBY-Boediono), Jusuf Kalla (JK)-Wiranto (JK-Win), dan Megawati Soekaarnoputri-Prabowo Subianto (Mega-Pro), sepakat bertarung untuk menjadi pemimpin negeri ini.

Luka dan dendam selepas pemilu legislatif, yang bermuara pada eksistensi partai, bercampur dengan hasrat serta fokus memperebutkan kursi presiden-wakil presiden. Catatan dan riwayat hidup ketiga pasangan capres-cawapres mulai ramai menyesaki halaman koran, menghidupkan perbincangan di televisi, maupun obrolan ringan di media internet. Riwayat SBY sebagai presiden 2004-2009, dengan setumpuk catatan atas prestasi, musibah, dan kebimbangan untuk mengartikulasikan sosok santun dan hati-hati. Boediono, dengan kapasitas sebagai ekonom tangguh, diperbincangkan dengan pertarungan karakter yang dahsyat; antara pendekar ekonomi dan antek asing. Jusuf Kalla, hadir dengan karakter tegas, gaya ucap ceplas-ceplos, namun bertindak cekatan. Wiranto mulai membangun stigma kalem, santun, dan baik hati, namun tak bisa menghindari catatan buram atas riwayat militer yang menjadi tangga kariernya.

Megawati, sebagai tokoh oposisi, mewarisi daya juang Bung Karno, walaupun tak bisa mengakomodasi semua nilai dan praktik perjuangan ayahnya. Sosok mantan presiden selepas Gus Dur ini, masih terkesan "pendiam" dan belum mengartikulasikan kecerdasan dan ketegasan Soekarno dalam strategi politik yang dibangun. Wakilnya, Prabowo Subianto, belum bisa melepaskan diri dari noktah hitam pelanggaran HAM, ketika berkuasa sebagai tokoh militer. Namun belakangan, citra Prabowo sudah didongkrak habis dengan iklan, gerakan politik dan laju partainya yang didukung beragam tokoh. Pertarungan karakter tiga pasangan ini, saling melawan, kadang menjaga jarak, membangun benteng pribadi, dan menyusun stigma diri.


Namun, yang penting diamati dalam kompetisi politik di pilpres 2009, adalah pertarungan bahasa untuk menyusun legitimasi diri. Ruang politik riuh dengan kompetisi bahasa, yang menohok, menyindir, namun kadang dilapisi selaput untuk pertahanan diri. Sindiran kerap muncul di seminar, rapat partai, maupun di sela-sela menghadiri hajatan publik. Media mengukuhkan pertarungan bahasa dalam jejaring kata dan berita. Pertarungan simbol dan citra saling melengkapi diri untuk membangun legitimasi.

SBY-Boediono memanggungkan jargon "bekerja keras untuk rakyat". Kerja pemerintah difokuskan sebagai usaha untuk kesejahteraan rakyat semata. Rakyat hadir sebagai tujuan, namun kerap dikesampingkan.

JK-Wiranto hadir dengan jargon "lebih cepat, lebih baik". Kecepatan ditempatkan sebagai prasyarat untuk mengukuhkan diri yang lebih baik. Istilah "cepat" hadir untuk memukul "lambat serta hati-hati", yang selama ini disandang SBY. Sindiran hadir untuk menggoyang citra lawan, sambil terus berlari menyusun legitimasi diri.

Pasangan Megawati-Prabowo, menahbiskan diri dengan berjuang "membangun ekonomi kerakyatan". Isu yang kerap berdengung ini, merupakan modal penyusun karakter prorakyat. Dimensi ekonomi menguatkan jejaring tanda yang hadir dengan sekian catatan, perenungan dan tujuan untuk menggapai simpati. Jargon-jargon saling berlawanan, menggoyang, merobohkan, namun tetap saja berusaha serius membangun legitimasi dirinya sendiri.

Perang jargon akan semakin riuh, seiring dekatnya gerbang Pemilu Presiden (Pilpres) 2009. Panggung politik ramai dengan perang bahasa, citra, dan pesona, namun absen dari kegigihan memperjuangkan ideologi. Tiga pasangan capres-cawapres juga memakai jurus komunikasi agar dekat dengan telinga konstituen, dengan istilah ringkas dan bernas. Istilah ini menunjukkan optimisme, pesona, citra, namun juga harapan.

SBY Berboedi, muncul dalam deklarasi pasangan SBY-Boediono, di Bandung, 15 Mei lalu. Walaupun cepat-cepat diganti, karena desakan partai pendukung serta pertaruhan politis, namun istilah ini menghadirkan jejak di ring kompetisi pilpres. JK-Wiranto memunculkan harapan kemenangan lewat "JK-Win". Optimisme ditebarkan dengan permainan tanda untuk merengkuh kuasa. Mega-Pro, menjadi tanda komunikasi efektif bagi tim kemenangan Megawati-Prabowo Subianto. Pemilihan istilah ini tentu untuk menarik garis simpati agar mendukung pasangan capres-cawapres dari PDIP-Gerindra.

Pertarungan bahasa akan terus memanas dengan lahirnya jargon dan tanda baru yang disematkan untuk membangun cita diri. Inilah kompetisi politik yang disesaki dengan bahasa yang menyusun legitimasi diri.***

*pemerhati bahasa, peneliti di Cepdes, Jakarta.

Tagmemik

Tagmemik memandang bahasa tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan sebagai konteks tingkah laku manusia. Dalam pmerian bahasa Tagmemik memperhitungkan fonologi, morfologi, sintaksis, makna dan konteks secara serentak.

Tagmemik menekankan keketatan pembagian tataran dalam pemerian bahasa, yakni dengan menghindari percampuradukan tatatan dalam analisis karena masing-masing tataran menduduki fungsi khusus dalam satu hirarki. Yang dimaksud dengan hirarki ialah bahwa unsur-unsur bahasa mengikuti suatu aturan dari yang tekecil sampai dengan yang terbesar. Suatu satuan yang besar terdiri dari satuan-satuan yang lebih kecil, dan satuan-satuan yang lebih kecil terdiri dari satuan-satuan yang lebih kecil lagi, sampai pada satuan-satuan terakhir. Tataran di atas tergantung pada tataran di bawahnya dan semuanya saling berhubungan.

Teori Tagmemik menggunakan alat pemerian yang memilahkan padangan etik dan pandangan emik. Etik adalah sauatu satuan yang merupakan bagian dari tingkah laku tutur maupun tingkah-laku nontutur, disebut etik apabila manifestasi diamati, dipikirkan dan diukur secara imprsionistis oleh pengamat atau peneliti sebagai orang luar. Suatu satuan disebut emik bila satuan tersebut meruakan suatu bagian dari suatu sistem tertutup, bukan menurut pengamat maupun peneliti (orang luar). Prinsip etik dan emik merupakan dasar epistemologis teori tamemik yang menemukan pola dan makna pada ada yang ditelitinya. Secara lengkap dan terperinci perbeadaan konsep etik dan konep emik adalah sebagai berikut:

EMIK
1. Mengamati satu kebudayaan atau bahasa secara khusus.
2. Satuan lingual ditentukan oleh apa yang ditemukan di lapangan pada waktu meneliti suatu bahasa.
3. Struktur bahasa yang ditemukan waktu meneliti dan telah diujikan pada penutur asli.
4. Pandangan internal (orang dalam) mengenai suatu sistem berdasarkab kriteria yang ada dalam sisten itu sendiri.
5. Kriteria bagi suatu pandangan bersifat relatif (nisbi) menurut sifat-sifat internal.
6. Suatu satuan mempunyai hubungan fungsional dan struktural dengan satuan yang lebih besar dan bersama-sama membentuk hierarki.
7. Dua satuan etik dinyatakan berbeda bila pengukuran dengan alat bantu menunjukan adanya perbedaan.
8. Data etik diperoleh dari analsis yang bersifat sementara atau sebagian

ETIK
1. Mengamati semua kebudayaan atau suatu kelompok yang dipilih secara bersama- sama secara komparatif
2. Pandangan tentang satuan lingual sebelum mengadakan penelitian lapangan mengenai suatu bahasa, seperti ramalan pola-pola berdasarkan pola behasa peneliti.
3. Struktur bahasa yang diperkirakan sebagai hasil kreasi peneliti sebelum diuji pada penutur asli.
4. Pandangan eksternal (orang luar) mengenai suatu sistem.
5. kriteria bagi suatu pandangan bersifat mutlak dan dibangun menurut dasar penalaran peneliti dan mungkin dapat diukur dangan nyata dan langsung memakai alat.
6. Suatu satuan tidak perlu dipandang sebagai bagian dari satu-satuan yang lebih besar.
7. Dua satuan emik berbeda bila satuan-satuan tersebut menghasilkan tanggapan yang berbeda pada penutur asli.
8. Data emik menurut pengetahuan yang utuh tentang keseluruhan sistem dan merupakan data akhir.
(sumber:blog anak sastra)

siapa Ferdinand

Ferdinand de Saussure (lahir di Jenewa, 26 November 1857 – meninggal di Vufflens-le-Château, 22 Februari 1913 pada umur 55 tahun) adalah linguis Swedia yang dipandang sebagai salah satu Bapak Linguistik Modern [1][2] dan semiotika. Karya utamanya, Cours de linguistique générale [3] diterbitkan pada tahun 1916, tiga tahun setelah kematiannya, oleh dua orang mantan muridnya, Charles Bally and Albert Sechehaye, berdasarkan catatan-catatan dari kuliah Saussure di Paris. Konsepnya yang paling terkenal adalah pembedaan tanda bahasa menjadi dua aspek, yaitu signifiant (yang memaknai) dan signifie (yang dimaknai). Dalam semiologi, Saussure berpendapat bahwa bahasa sebagai "suatu sistem tanda yang mewujudkan ide" dapat dibagi menjadi dua unsur: langue (bahasa), sistem abstrak yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat yang digunakan sebagai alat komunikasi, dan parole (ujaran), realisasi individual atas sistem bahasa.

bilingualisme dan diglosia

BILINGUALISME DAN DIGLOSIA

Awal terbentuknya bilingualisme terletak pada keberadaan masyarakat bahasa yang berarti masyarakat yang menggunakan bahasa yang disepakati sebagai alat komunikasinya. Dari masyarakat bahasa tersebut akan menjadi sebuah teori baru mengenai bilingualisme dan monolingual. Monolingual adalah masyarakat bahasa yang menggunakan satu bahasa. Sedangkan bilingualisme menurut Nababan (1964:27) kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dan dalam Kamus Linguistik bilingualisme diartikan sebagai pemakai dua bahasa atau lebih oleh penutur bahasa atau oleh suatu masyarakat bahasa. Dengan kata lain kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih dalam bilingualisme berlaku secara perorangan dan juga secara kelompok kemasyarakatan. Penekanan bilingualisme disini terletak pada keadaan atau kondisi serta seorang penutur atau masyarakat bahasa. Bilingualisme sering juga disebut dengan kedwibahasaan. Sedangkan menurut Mackey bilingualisme bukanlah fenomena sistem bahasa melainkan fenomena pertuturan atau penggunaan bahasa yakni praktik penggunaan bahasa secara bergantian. Bilingualisme bukan ciri kode melainkan ciri pengungkapan. Bilingualisme memiliki dua tipe yang pertama bilingualisme setara yaitu bilingualisme yang terjadi pada penutur yang memiliki penguasaan bahasa secara relatif sama. Di dalam bilingualisme setara ini terdapat proses berfikir. Tipe yang kedua yakni bilingualisme majemuk, bilingualisme ini terjadi pada penutur yang tingkat kemampuan menggunakan bahasanya tidak sama. Sering terjadi kerancuan dalam bilingualisme ini sehingga dapat menyebabkan interferensi. Interferensi disini ialah masuknya suatu bahasa kedalam bahasa yang lain. Faktor penentu yang menyebabkan bilingualisme ialah bahasa yang digunakan, bidang penggunaan bahasa, dan mitra berbahasa.
Diglosia menurut Ferguson yakni fenomena penggunaan ragam bahasa yang dipilih sesuai dengan fungsinya. Memiliki tipe rendah dan tinggi, tipe tinggi biasanya berhubungan dengan agama, pendidikan , dan aspek budaya yang tinggi sedangkan ragam rendah digunakan di rumah, pabrik dan sebagainya. Berbeda dengan Ferguson, Fishman beranalisa bahwa diglosia mengacu pada penggunaan bahasa yang berbeda dengan fungsi yang berbeda.diglosia dapat dipilah menjadi dua profil yakni diglosia pada masyarakat monolingual yang berasumsi fenomena pemilihan ragam bahasa seperti dialek dan register, dan diglosia pada masyarakat bilingual yaitu fenomena pemilihan dan penggunaan salah satu masyarakat bahasa sesuai dengan fungsinya. Landasan dalam diglosia ini ialah pertimbangan fungsi bahasa dalam menentukan pilihan bahasa diantara dua bahasa atau lebiih, bukan kebiasaan dan kemampuan menggunakan dua bahasa. Situasi diglosia di Indonesia terbagi menjadi dua yaitu situasi pilihan bahasa dan situasi penggunaan varian bahasa. Situasi pilihan bahasa disini membandingakan kedudukan yang tinggi dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Bahasa tinggi dan bahasa rendah ditentukan oleh konteks dan situasi kebutuhan alat komunikasi yang dikaitkan dengan fungsi bahasa pilihan.
Ada empat tipe hubungan antara diglosia dengan bilingualisme. (1) bilingualisme dengan diglosia, pada tipe itu dua fenomena penggunaan bahasa terjadi. Memiliki ciri yakni anggota masyarakat mengetahui situasi yang meuntut penggunaan bahasa, baik dalam kaitannya dengan bahasa yang dipilih sesuai dengan fungsinya maupun dalam kaitannya dengan bahasa yang dipilih sesuai dengan gengsi bahasa dan varian. (2) bilingualisme tanpa diglosia, memiliki ciri bahwa setiap bahasa memiliki peluang untuk digunakan tanpa perlu pembatasan fungsi tertentu. Bahasa dipilih tanpa dikaitkan dengan fungsi sosial karena fungsi sosial bahasa pada tipe ini tidak kuat. (3) diglosia tanpa bilingualisme, tipe ini memiliki sebuah asumsi bahwa diantara penutur kelompok elite dan masyarakat tidak pernah terjadi interaksi dalam arti menggunakan bahasa yang dipilih. Mereka berinteraksi melalui penterjemah atau interpreter. (4) tanpa diglosia dan tanpa bilingualisme tipe ini mengandalkan kemungkinan adanya masyarakat kecil, anggotanya sangat terbatas, sangat terpencil, dan egalitarian yang hanya memiliki satu bahasa dan satu ragam bahasa, serta tidak asa perbedaan peran yang dimainkan oleh gaya-gaya yang terdapat dalam bahasa itu.(berbagai sumber)